Seorang tokoh sufi, Abu Yazid Al Bustomi, semenjak kecil dikenal sebagai seorang shalih, yang taat menjalankan perintah agama. Hobi utamanya membaca kalamullah, Al Qur’an. Tak ada hari dan malam terlewat tanpa membaca firman-Nya.
Suatu malam, Abu Yazid asyik membaca dan menekuri lembar demi lembar halaman Qur’an bersama sang ayah. Ayat demi ayat terbaca, sehingga ia sampai pada surat Al Muzammil.
“Abi, untuk siapakah Allah memerintahkan qiyamul lail ini ?”
“Untuk Muhammad SAW,”jawab ayahnya pendek.
“Mengapa ayah tidak melaksanakannya sebagaimana Rasulullah telah melakukannya ?”
“Itu adalah perintah Allah untuk memuliakan derajat Rasulullah, anakku.”ujar sang ayah sambil menahan senyumnya.
“Untuk Muhammad SAW,”jawab ayahnya pendek.
“Mengapa ayah tidak melaksanakannya sebagaimana Rasulullah telah melakukannya ?”
“Itu adalah perintah Allah untuk memuliakan derajat Rasulullah, anakku.”ujar sang ayah sambil menahan senyumnya.
Mendengar jawaban singkat ayahnya, Abu Yazid kembali khusyuk membaca ayat demi ayat dalam surat tersebut. Ketika sampai kepada ayat : “…thaaifatun minalladziina ma’aka,” Abu Yazid kembali bertanya kepada sang ayah.
“Abi, siapakah yang dimaksudkan oleh ayat ini ?”
“Mereka adalah para sahabat Nabi SAW.”
“Mereka adalah para sahabat Nabi SAW.”
Kening Abu Yazid kembali berkernyit, mendengar jawaban ayahandanya. “Lalu, mengapa Abi tidak ikut menunaikannya sebagaimana sahabat Rasul telah melakukannya ?” Sang ayah yang hari-harinya habis untuk bekerja itu lantas menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk menunaikan shalat malam.”
“Apakah Abi tidak ingin seperti mereka ?”
Sekali ini sang ayah tak kuat lagi menahan senyumnya. Ia tersenyum. Tapi tak sepatah-katapun ia menjawab pertanyaan Bustomi kecil. Alkisah sejak saat itu, sang ayah kerap terbangun malam hari untuk menunaikan shalat tahajjud.
Bustomi kecil sering terjaga ditengah malam, dan menyaksikan ayahnya tengah khusyuk menghadap kiblat, bahkan sesekali tampak terisak disela-sela tahajjud-nya. Menyimak betapa nikmatnya sang ayah berkhalwat dengan Sang Khaliq, Abu Yazid Al Bustomi memohon kepada ayahnya untuk diajari, bagaimana melakukan shalat malam.
Bustomi kecil kerap melakukan shalat malam, semenjak ia mendapatkan pelajaran dari ayahnya itu. Setiap malam ia terbangun dan segera mengambil air wudlu, sebagaimana sang ayah juga melakukannya.
Menyaksikan ketekunan anaknya sang ayah lalu menasehati,”Anakku, kamu masih terlalu kecil. Jika kamu sering terbangun tengah malam begini, bisa-bisa kamu jatuh sakit.” Bustomi kecil yang polos itu kemudian berkata, setengah bercanda, “Abi, di akhirat kelak jika saya ditanyai tentang shalat tahajjud saya akan berkata: – Ya Allah, sebenarnya saya sangat menyukai shalat tahajjud, hanya saja ayah telah melarang saya dari menekuninya.”
Mendengar kebajikan yang diutarakan oleh sang anak, ayah Bustomi kecil nyaris tak dapat berkata-kata, saking terharunya. Dengan suara pelan dan senyum bahagia sang ayah berkata pada Bustomi kecil,”Baiklah anakku. Silahkan kamu laksanakan tahajjud-mu dengan sabar dan khusyuk.”
Pada malam bersejarah itu, pada malam-malam selanjutnya, ayah dan anak yang shalih itupun tak pernah lepas dari menunaikan qiyamul lail. Mereka berlayar, tenggelam, dalam kenikmatan yang sama yang pernah dikaruniakan Allah terhadap Rasulullah SAW dan kaum keluarga serta sahabatnya. Mereka tenggelam dalam samudera luas nan tenang. Sebagaimana Allah SWT telah menganugerahkan kenikmatan itu kepada orang-orang shalih terdahulu.
Sumber: Rasyan Ridha
.
No comments:
Post a Comment